Tuesday, September 6, 2022

Cerita Melahirkan di Jepang

Halo readers! Sudah lama sekali Ai tidak menuliskan sesuatu di blog ini ya. Maklum saja, hamil besar dan sembari menyiapkan persalinan itu menyita waktu. Ah..sebetulnya itu alasan Ai saja menutupi kemalasan hehe. Jadi, kali ini, Ai ingin berbagi pengalaman mengenai cerita Ai melahirkan di Jepang.

Cerita Sebelum Melahirkan


Jadi, kelahiran bayi Ai ini sudah lewat satu minggu dari hari perkiraan lahir (HPL). Keadaannya sehat dan aktif sekali. Bahkan sampai menjelang kelahiran pun gerakannya masih sangat aktif. Kata orang, gerakan bayi akan menurun ketika sudah memasuki 37 minggu karena semakin sempitnya ruang gerak di dalam rahim. Namun ternyata, gerakan bayi ini malah semakin aktif. 

Mungkin karena saking aktifnya, dia sangat betah di dalam. Pada saat itu, bayi dalam keadaan sehat, dan tidak terlilit tali pusar. Hanya memang "belum mau keluar" saja. Akhirnya, dokter mengatakan bahwa apabila dalam satu minggu ke depan (satu minggu setelah HPL), bayi Ai tidak segera lahir, maka Ai diminta untuk dirawat inap untuk diberikan suntik induksi. 

Sayangnya, setelah menunggu dengan was-was, bayi Ai tidak kunjung ingin keluar. Tidak ada kontraksi sama sekali. Karena sebelumnya, Ai mendengar banyak cerita dari teman mengenai sakitnya pemberian tindakan suntik induksi, maka Ai sangat ketakutan. Dalam pikiran saat itu, Ai tidak mau ke rumah sakit karena takut menghadapi sakitnya. Ai ingin melahirkan ketika si bayi memang sudah ingin keluar. Jadi, di malam kamis, Ai sudah merencanakan ingin kabur dari rumah, bahkan Ai sudah memesan hotel di Tokyo sebagai tempat kabur. Rencananya, Ai akan kabur di pagi hari sebelum si mamas bangun.

Tapi ternyata, Allah itu tidak mengijinkan Ai kabur dari suami. Kamis malam Ai sudah mulai merasakan kontraksi dan semakin kuat di Jumat dini hari mulai jam 2-an pagi. Kontraksi semakin sakit dan sering lalu pada pagi hari sudah mengeluarkan flek darah. Pukul 8 pagi, kami berangkat ke rumah sakit, namun ditolak oleh pihak rumah sakit karena "belum butuh dilakukan tindakan". Oleh karenanya, kami menunggu hingga pukul 3 sore di mana waktu reservasi untuk dilakukan suntik induksi. 

Proses Persalinan


Pukul 4 sore, Ai diperiksa USG untuk mengetahui keadaan janin. Janin Ai masih nampak baik-baik saja. Namun sayangnya, Ai masih ada di pembukaan 2 dan itu sudah terjadi sejak 2 minggu sebelumnya dan tidak ada perkembangan. Dokter lalu memutuskan untuk memasukkan balon ke dalam vagina untuk memacu pembukaan hingga ke pembukaan 4. Dengan menangis-nangis karena merasa ada guntingan sesuatu, balon itu masuk juga.

Pukul 7 malam, bidan mengecek keadaan balon Ai, dan bidan berkata bahwa Ai sudah sampai di pembukaan 4, lalu balonnya diambil dan Ai diminta untuk menunggu hingga pembukaan 10. Dan ternyata, kontraksinya semakin hebat. Pukul 8 malam, bidan kembali mengecek dan Ai sudah sampai di pembukaan 5. Karena prosesnya satu jam, Ai pikir akan cepat sampai ke pembukaan 10, namun ternyata kenyataan berkata lain.

Hingga pukul 11 malam, Ai masih di pembukaan 5 dan tidak bergerak. kontraksi semakin hebat dan Ai sudah tidak bisa menahan sakit, akhirnya mulai berteriak kesakitan. Di monitor dipantau tentang detak jantung bayi dan level kekerasan perut karena kontraksi. Saat itu menunjukkan level kekerasan perutnya ada di angka 110. Ai berteriak sangat keras hingga terdengar ke luar kamar. Akhirnya bidan jaga masuk dan mulai khawatir dengan keadaan Ai. 

Bidan menawarkan Ai untuk diberikan suntik epidural atau suntik bius lokal untuk mengurangi level sakitnya. Namun Ai masih berusaha sabar karena merasa akan segera lahir. Namun lagi-lagi perkiraan Ai salah. Pada pukul 2 pagi hari Sabtunya, level kekerasan perut mencapai angka 138 dan Ai berteriak sangat kencang. Itu adalah teriakan paling kencang dan kesakitan paling sakit yang Ai pernah rasakan selama hidup. Akhirnya dengan derai air mata, Ai memanggil bidan untuk meminta suntik epidural. 

Pukul 3 pagi, dilakukan pemasangan selang-selang untuk bius epiduralnya. Setelah itu, Ai merasakan sedikit lega karena level sakitnya bisa berkurang sekitar 70 - 80%. Ketika puncak kontraksi pada pukul 4:30 pagi, di mana level kekerasan perut di angka 160, Ai merasakan sakit namun rasanya seperti berada di angka 70 tanpa suntik biusnya. 

Hingga pukul 5 pagi, ternyata Ai masih berada di pembukaan 7 dan kepala bayi masih tinggi (masih jauh dari mulut rahim). Akhirnya pada pukul 6 pagi, dokter memberikan suntikan induksi. Karena sudah berada pada bius lokal, Ai tidak begitu merasakan sakitnya induksi. Bidan melatih Ai untuk pernapasan ketika janin nanti akan keluar. Ternyata di klinik ini, metode pernapasan hii-hii-huuu tidak berlaku. Ai diminta untuk menarik nafas panjang dan dikeluarkan tanpa membuka mulut. 

Pukul 9:15 akhirnya masuk ke pembukaan 10. Bidan-bidan sudah menyiapkan alat-alat persalinan. Ai sudah diminta untuk bernafas sesuai dengan yang sudah diajarkan. Tapi ternyata lagi-lagi kenyataan berkata lain. Si bayi tetap tidak mau keluar. Akhirnya lagi-lagi dokter harus mengambil keputusan cepat. Dan diputuskan untuk menggunakan vakum!!!

Jadilah, vagina ai digunting-gunting agar alat vakumnya bisa masuk. Dan sekali lagi, karena sudah dibius, Ai tidak merasakan apa-apa ketika digunting. Lalu kemudian pukul 9:45, metode vakum tidak juga berhasil. Meski kepala bayi sudah didapatkan, namun si bayi tetap tidak mau keluar. Akhirnya dokter yang menangani Ai meminta bidan untuk memanggil dokter lain. Dan kemudian dokter itu naik ke menggunakan pijakan lalu menekan dan mengurut perut Ai. Ketika ditekan dan diurut itu rasanya sakit sekali, padahal Ai sudah dalam pengaruh bius. 

Dan kemudian lahirlah. Tidak bisa berkata apa-apa lagi selain berucap syukur alhamdulillah pada Tuhan. Bidan langsung memotong tali pusarnya dan Ai mendengar tangisannya. Lucu sekali, si bayi hanya menangis kurang dari 30 detik, lalu diam ketika bidan menghanduki menyeka darahnya lalu diletakkan di box bayi untuk dilakukan pengecekan dan pemeriksaan.

Setelah itu, dokter kemudian melakuan penjahitan. Dan penjahitannya sangat lama, Ai rasakan sekitar 30-45 menit. Dalam proses kelahiran ini, Ai kehilangan darah sebanyak 985 ml. Kata bidannya, sedikit lagi kehilangan darah, mungkin Ai akan meninggal. Karena normalnya, kehilangan 500 ml darah sudah dikategorikan sebagai keadaan yang cukup berbahaya. Rata-rata pada setiap kelahiran, ibu akan kehilangan darah sebanyak 250-400 ml saja. 

Ternyata, bayi Ai terlilit tali pusar di leher pada sepanjang proses kontraksi itu. Karena pada hari jumat pukul 3 ketika di USG, bayi Ai masih nampak baik-baik saja dan tidak terlilit tali pusar. Baik Ai dan bayi kami sama-sama nyaris meninggal. Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kepada Tuhan.

Pasca Melahirkan


Karena Ai kehilangan banyak darah, maka Ai mendapatkan infus hemoglobin karena kadar hemoglobinnya sangat rendah, yaitu di angka 50-an. Normalnya, hemoglobin berada di angka 90. Namun Ai tidak mendapatkan transfusi darah. Hingga 5 hari di rumah sakit, kadar hemolobin Ai masih rendah, hari terakhir di rumah sakit, masih di angka 77. Sehingga Ai harus minum obat penambah darah.

Karena Corona, mamas tidak boleh menemani dan menjenguk. Kami hanya bertemu terpisah kaca. Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan atas keselamatan yang dilimpahkan pada kami. Dan kami namakan bayi mungil ini dengan nama Paramitha Najwa Arunika.

Paramitha, adalah harapan untuk sebuah kesempurnaan dalam ketidaksempurnaan. Karena sepanjang kehamilan, kami berdua tidak pernah bisa melihat wajah janin. Meskipun Ai sudah banyak minum air hingga beser, namun ternyata memang janinnya tidak mau menampakkan wajahnya. Malah Ai menyalahkan rumah sakitnya karena mengira alatnya rusak.

Najwa, adalah doa dan dialog kepada Tuhan. Karena kami mendoakan untuk segera mempunyai buah hati segera setelah kami menikah. Dan nama Najwa ini juga sebagai doa-doa kami untuk segala kebaikan untuk bayi kami. Najwa juga diambil dari tokoh idola Ai, yaitu Najwa Shihab.

Arunika, adalah hangatnya sinar matahari pagi. Nama ini cukup unik. Karena pada awalnya, kami akan menamai bayi ini dengan nama Aruna. Namun ayahnya masih kurang cocok. Lalu dia menambahkan nama Keika dan menggabungkannya dengan nama Aruna. Aruna dan Keika menjadi Arunika. Aruna berarti sinar merah matahari pagi, dan Keika artinya sinar kunang-kunang di malam hari. Harapan dengan nama Arunika sebetulnya adalah agar bayi ini mempunyai kehidupan yang indah di sepanjang hidupnya. 

Kami mendoakan agar Paramitha Najwa Arunika tumbuh sehat dan bahagia.









EmoticonEmoticon