Tuesday, November 13, 2018

Renungan Pagi Ini: Upgrade vs Downgrade Diri

Sudah satu bulan rasanya saya tidak update blog kebanggaan ini. Maklum saja, aktifitas sebagai pekerja full time di Jepang sungguh melelahkan. Mau tidak mau saya harus beradaptasi dari fase mahasiswa menjadi fase bekerja. Ngomong-ngomong soal adaptasi, belakangan ini ada hal yang menyentil otak saya yang kecil ini mengenai cara manusia beradaptasi.

Manusia selalu dipersiapkan untuk beradaptasi dengan semua lingkungan yang baru. Bukan hanya limngkungan, tetapi dalam semua hal. Pekerjaan baru, status baru, pasangan baru, bahkan beradaptasi dengan baju baru. Namun rupanya, manusia masih mengalami kesulitan dalam beradaptasi.

Kita, rupanya sungguh mudah untuk upgrade diri kita menjadi lebih baik. Namun ternyata sebaliknya, kita sungguh susah melakukan downgrade untuk diri kita sendiri. Dan hasilnya, kita menjadi orang yang menyebalkan dan dicap tidak mandiri.

Jadi begini, hidup manusia memang tidak mulus. Kadang kita ditempatkan pada situasi yang menuntut kita untung meng-upgrade diri kita, wawasan kita, perilaku kita. Tapi, tak semua manusia selalu ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dari sebelumnya. Terkadang, Tuhan menempatkan kita pada posisi yang lebih susah. Dan pada saat itulah, kita diuji dengan kemampuan adaptasi kita untuk downgrade diri.

Kita, sebagai orang yang mungkin terbiasa dengan mendapatkan sesuatu dengan mudah, kemudian tiba-tiba kita harus berjuang keras hanya untuk mendapatkan uang untuk makan. Bisakah kita menurunkan standar hidup kita? Misalkan, biasanya kita membeli baju-baju dari Zara, lalu, apakah kita mau membeli baju bekas yang harganya bisa seperempat harga baju Zara? Biasanya kita membeli sepatu Adidas, lalu mau tidak kita membeli sepatu biasa yang harganya setengah dari itu?

Ada seni sosial yang berperan disitu. Bagaimana kita beradaptasi dengan lingkungan, men-downgrade diri kita, tanpa harus membuat jengkel orang-orang di sekitar. Satu hal yang perlu untuk selalu kita garis bawahi adalah, bahwa orang lain mempunyai kehidupan yang terlepas dari kehidupan kita. Minta tolonglah seperlunya, jangan membuat orang lain jengkel. Karena ada batas ikhlas dalam sebuah pertolongan manusia.

Saya pribadi belajar dari kasus saya sendiri. Hampir 7.5 tahun yang lalu, ketika saya benar-benar tidak tahu apapun tentang hal baru yang akan saya jalani, saya banyak sekali bertanya kepada dosen saya. Namun, beliau pada akhirnya berhenti menanggapi saya, karena saya kebanyakan nanya. Selanjutnya, saya yang berhenti menanggapi seseorang karena kebanyakan nanya. Dari situ, saya simpulkan bahwa memang akan ada batas ikhlas manusia untuk menolong. Jika sudah begitu, tidak ada cara lain selain kita harus bisa mandiri. Terlebih lagi, hidup di negara orang dengan pertemanan yang terbatas.

Kemudian, satu seni menolong dan meminta tolong yang harus kita garis bawahi adalah, jangan eprnah sekali-kali memikirkan bagaimana cara membalas budi. Teman saya, mbak Yohana, pernah bilang ke saya,

Ai, kita tidak akan pernah bisa membalas langsung pertolongan orang yang menolong kita. Bagaimana kita membalasnya adalah dengan menolong orang yang lain. 

Karena saya percaya, tolong menolong itu adalah sebuah rantai yang tidak terputus. Suatu saat akan kembali kepada kita melalui orang lain, bukan melalui orang yang pernah kita tolong.

Pada akhirnya, manusia bukan hanya dituntut untuk meng-upgrade dirinya, melainkan juga siap untuk men-downgrade dirinya.  Dan bagaimana kita bisa melewati keduanya, sumbernya adalah dari hati dan kemandirian kita. Jangan mengeluh, karena hidup ini memang keras.



EmoticonEmoticon