Saturday, September 1, 2018

Want You More

"Jadi, mau datang ke reuni, Rhe?", tanya sahabatku, Bunga di telepon.


Aku menghela nafas sejenak sebelum mengutarakan alasanku,

"Bunga, aku malas ke reuni akbar. Tau nggak? teman-teman semua udah menikah. Aku? E buset, pacar aja kagak ada. Bisa jadi bulan-bulanan, cemoohan, dijodohin sama sisaan cowok yang belum menikah, itu pun kalau ada. Ujung-ujungnya, nanti ketemu berondong lagi. Terus, nanti aku bakalan ketemu sama Widi, Aji, Hari, mantan-mantanku itu, belum lagi yang mantan-mantan gebetan, dan melihat mereka datang bawa keluarga masing-masing sedangkan aku masih jomblo? Mau taruh dimana mukaku?", aku kembali menghela nafas, disusul suara tawa mak lampir khas Bunga.

"Ayolah, temani aku, lagian juga belum tanggal kamu balik ke Zaragoza kan?", bujuk Bunga masih belum menyerah.

"Aduh, Bung, kamu berangkat sama Mas Angga, hellow...kita bertiga satu sekolah"

"Tapi dia kan pasti ngumpul sama temen angkatannya..."

" Dan kamu juga kumpul sama temen satu kelasmu di IPS, aku sendirian, dan sekelas IPA 1 semua udah pada nikah kecuali gue, Bung", segera kupotong rengekan Bunga.

"Yaudah terserah, nanti pokoknya kalau mau datang kabarin aja, Mas Angga bakal nyetir soalnya ya. Da neek...", kemudian terputus sambungan telepon Bunga.

Aku mendengus kesal sambil menatap layar laptopku. Reuni, huh?

Aku sebenarnya sangat malas datang ke reuni. Apalagi di awal kepala tiga. Ketika semua teman, bahkan mantan dan mantannya mantan sudah berumah tangga, hanya aku dan segelintir teman saja yang masih betah melajang. Entah alasan mereka apa untuk melajang, tetapi untuk aku, memang aku tidak seberuntung teman lain dalam urusan percintaan. Lebih karena ketidak percaya dirianku yang menghalangiku untuk menikah. Berkali-kali aku menggagalkan rencana pernikahanku sendiri karena aku yang terlalu tidak percaya diri berkomitmen, tetapi disisi lain juga aku adalah seorang perfectionist akut yang tidak bisa menerima apabila ada hal yang tidak kusukai dari pasanganku.

Dibandingkan dengan reuni, aku lebih menyukai datang ke acara konferensi. Bertemu orang baru adalah kegiatan favoritku. Dari situ, berkenalan dengan orang baru dan membuka lembaran baru adalah caraku melupakan masa lalu. Meski sebenarnya aku tidak akan bisa lepas dari masa lalu, namun setidaknya, cukup untuk membuat kehidupan sosialku menjadi lebih baik. 

"Rhea, Rhea.."

"Rhea!!", suara Denny, rekan kantorku memanggil, menyadarkan lamunanku, "Are you okay?"

"Uhm..fine..sorry, I just.."

"It's okay, take your time. I just want to give you this." kata Denny sambil menyerahkan dokumen yang harus kupelajari untuk bahan presentasi bulan depan.

"Thanks..", jawabku dibalas dengan senyuman oleh Denny dan segera dia menutup pintu ruang kerjaku.

Sepulang kantor, kunyalakan kembali laptopku dan kubuka undangan elektronik tentang reuni. Aku lihat sudah banyak teman-teman seangkatan yang bersedia datang. Kulihat Bunga pun sudah mengkonfirmasi kedatangannya. Jujur aku semakin malas untuk datang. Namun kulihat akun dia menyatakan datang. Dia. Bukan, bukan salah satu dari mantanku. justru kami tidak saling mengenal satu sama lain dulu.

Akhir-akhir ini pikiranku tergelitik olehnya. Dia yang hanya selalu kulihat punggungnya lewat sela-sela jendela kelas ketika pagi. Dia yang sangat misterius karena di jaman serba sosial media seperti ini, dia hanya punya satu saja. Itu pun sangat jarang aktif. Saking penasarannya, aku sampai bergadang malam-malam hanya untuk mengetahui informasi tentangnya. Namun nihil. Akhirnya kuputuskan untuk bertanya kepada Ian, sahabatku yang kebetulan satu kelas dengannya. 

Ian hanya kertawa. "Kamu, sama dia?", dan meninggalkan tanda tanya besar. Memangnya kenapa? Dia belum menikah, dan aku juga belum. 

Namanya Reynald. Sepanjang kami SMA, aku hanya mengenalnya sebagai pacar dari teman satu SMP denganku. Berpapasan pun kami tak pernah saling bertegur sapa. Wajahnya pun sudah samar. Terang saja karena aku tidak menemukan satu pun foto tentang dia dimanapun. Yang kuingat hanyalah bayangan punggungnya. Iya, memang hanya punggungnya. karena dulu, aku hanya ingat sering sekali berjalan di belakangnya. Sehingga hanya terlihat punggung dan sedikit wajahnya dari belakang ketika dia menengok ke samping. 

"Hentikan aku sebelum aku melakukan hal bodoh, Ian!!"

"Hal bodoh macam apa, Rhe?"

"Jatuh cinta padanya mungkin?"

Ian hanya tertawa mendengar pengakuanku.

"Ayolah Rhea, aku tahu dia itu bukan tipemu."

"I know. I knew it very well."

"Apa yang membuatmu sepenasaran ini, Rhea?"

"Entahlah, mungkin karena dia jomblo dan aku jomblo. Dan tren pernikahan saat ini adalah menikah dengan teman-teman sekolah. Jadi, kalau ada kesempatan, kenapa enggak?" jawabku mengasal.

"Come on, girl! Ini bukan Rhea yang kukenal. And by the way, he has a girlfriend, neng"

"Iya maksudnya dia belum menikah gitu", kataku meralat asal-asalan.

"Dia suka judi dari dulu. Seriously, tapi semoga sudah sadar."

"Dude, reputasi aku di telinganya lebih buruk dari reputasi dia di telingaku."

"Ya, terus udah tau gitu kamu masih maksain mau pdkt?"

"Nggak pdkt juga sih, cuma nyari kesempatan.", jawabku lemas, serasa tidak percaya diri dengan niatku sendiri.

"Udahlah, dulu kamu terkenal ngedeketin cowok duluan, terus ditolak kan? Masak mau ngulangin kebodohan yang sama?"

Aku terdiam mendengar ucapan Ian. Ian benar. Memang seharusnya aku tidak bertingkah seperti ini. Apalagi setelah imej yang kubangun bertahun-tahun ini mengenai asmara. Tentu saja, bukan aku yang mengejar mantan-mantanku duluan. Masak aku harus kembali ke imej lama? Harga diri apa kabar?

"Udah kamu nyari bule lagi sana.", kata Ian mencairkan diamku.

"Tapi dia itu ada daya tarik tersendiri. Semacam buah terlarang. Yang aku inginkan tapi semacam tidak boleh. Aku tau kita sama-sama tidak cocok untuk satu sama lain. Tapi aku nggak tahu kenapa aku nggak bisa menolak rasa penasaran ini? Semakin aku tahu bahwa ini tu ga bagus, semakin aku pengen banget deket sama dia"

"Kamu cuma penasaran. Karena dia nggak ada sosmed aja."

"Aris, mantan gebetanku, ingat? Dia lebih nggak ada sosmed, tapi aku nggak penasaran dengannya.", sanggahku diikuti helaan nafas panjang Ian.

"Emang, kalau ketemu dia, kamu mau apa?", tanya Ian yang kemudian membuatku menerawang jauh.

"Misal kita ketemu ya, Ian, di reuni misalkan. Semua orang membawa pasangan masing-masing, kemudian aku menyingkir karena merasa asing. Lalu dia datang mendekat, menanyakan kabar. Dan kita akan terdiam sejenak, lalu kemudian kita spontan berkata, kenapa kita tidak berdua saja? Terus kita mulai dekat, mulai saling jatuh cinta dan seterusnya seterusnya"

Ian menertawakanku seperti puas sekali rasanya. Aku cuma mendengus kesal. 

" Nggak usah mimpi. Udah sana cari bule. Aku mau jemput istri dulu.", kata Ian sembari menutup video call kami.

Aku kemudian membuka halaman akunnya. Terpampang dengan penuh ketidak-jelasan dalam profilnya. Sejenak kupandangi foto profilnya yang juga tersamarkan wajahnya sebelum ganti display profilnya dengan laman milikku sendiri. Segera ingin aku tutup peramban dan kembali ke file presentasi. Namun niatku urung setelah melihat ada notifikasi pesan pribadi. Kubuka dan kubaca pelan-pelan pesan tersebut.

Bulan depan katanya pulang? Datang reuni bareng yuk

Masih dengan menatap layar, aku meraih telepon gengamku, dan segera kutelepon Bunga.

"Halo, Bunga? Iya aku datang reuni. tapi aku ga ikut sama kamu. Udah ya.."

"Eh..Rhea..kamu datang sama siapa? Cepet banget berubah pikirannya", tanya Bunga di seberang dengan keheranan.

"mmm....perhaps, it's miracle. Dah ya..byeee neeek", segera kututup telepon meski kutahu Bunga masih terkejut. Aku hanya tersenyum dan semakin tersenyum, sebelum aku membalas pesan itu dengan satu kata, yuk.



EmoticonEmoticon