Friday, September 14, 2018

Renungan Pagi Ini: Spotlight

Baru saja kemarin saya menyelesaikan buku Ubur-Ubur Lembur nya Raditya Dika. Di beberapa bab terakhir, tulisan bang Radit berhasil menggelitik saya. Terlebih di bagian dimana dia berkomunikasi dengan Imam, anak kecil yang bertanya tentang bagaimana cara menjadi artis padanya.

Bang Radit bilang, bahwa susah jadi artis, karena jika dia sudah tidak mendapatkan spotlight, atau sorotan, maka dia akan melakukan segala cara termasuk settingan, untuk mendapatkan kembali sorotan tersebut.

Jangankan artis atau entertainer, kita manusia biasa saja juga butuh sorotan. Bahkan petani di sawah pun butuh untuk menjadi sorotan diantara petani-petani lainnya. Dan kita, secara tidak sadar berlomba-lomba untuk mendapatkan sorotan dalam kehidupan.

Bagaimana tidak? rasanya menyenangkan sekali mendapatkan sorotan. Suara kita lebih didengar oleh orang banyak. Banyak keistimewaan yang bisa kita dapatkan dengan dikenalnya kita oleh banyak orang. Misalkan saja, kita mengantri SIM. Jika kita bukan orang yang dikenal baik setidaknya oleh satu orang pegawai kantor pelayanan SIM, pastilah kita tidak akan mendapat kemudahan. Atau contoh lain, jika kita bukan orang yang terkenal, mana ada orang mau menengok blog kita. Iya. Sumpah. Kecuali kita berusaha untuk menulis sesuatu yang bisa menjadi sorotan. Tulisan kontroversi misalnya, atau bahkan tulisan bermanfaat sekalipun. Secara tidak sadar, kita sudah berusaha untuk mendapatkan sorotan.

Hidup memang tidak lepas dari kompetisi. Dan apapun menjadi sah dilakukan oleh orang untuk mendapatkan sorotan, dan nantinya akan diklaim sebagai jalan hidupnya. Saya pun demikian.

spotlight
Spotlight
Source: dhgate.com

Beberapa tahun lalu, meski hanya skala kecil, tidak seperti Tasya, artis cilik kita, saya pun sempat mendapatkan sorotan karena berhasil kuliah ke luar negeri. Lebih tersorot lagi di skala amat sangat lokal, ketika saya menjadi penyiar Radio PPI Jepang. Lantas, sorotan itu meredup. Lantas apa? Saya mulai tidak dikenal oleh orang. Lalu yang saya lakukan?

Ya mencari sorotan lain. Pindah. Nge-blog lagi, mencoba nge-vlog namun gagal, kemudian mencoba menulis novel. Itu semua secara tidak sadar, saya pun mencari spotlight. Tak sedikit orang yang kena dampak meredupnya sorotan dengan tidak sadar terkena Post Power Syndrome. Sebuah tingkah laku dimana manusia akan merasa masih berada pada spotlight padahal sudah sangat meredup. Biasanya, orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang berlaku arogan. Saya pribadi, tidak ingin hal itu terjadi di diri saya.

Lantas bagaimana caranya kita menghindari hal seperti itu?
Saya menyadari adanya potensi post power syndrome yang dapat saya alami. Oleh karena itu, seperti yang saya bilang diatas, mencari sorotan lain. Mungkin karena saya menyadari bahwa saya bukan orang yang haus akan sorotan, namun masih perlu untuk disorot, oleh karena itu, saya mencoba mencari sorotan melakui dunia tulisan. Saya pikir, dunia tulisan tidak akan pernah mati untuk menuangkan ide dan pikiran. Dunia tulisan juga tidak terbatas oleh usia. Tidak seperti dunia visual atau audio.

Pada intinya adalah bahwa sudah kodratnya manusia hidup dari panggung ke panggung. Yang membedakan adalah, seberapa serakah manusia dalam mencari sorotan panggung? Dan bagaimana dia memperlakukan panggung itu dengan penuh kebermanfaatan, atau hanya sekedar pamer keakuan semata.


EmoticonEmoticon