Sunday, September 23, 2018

I Fall in the Autumn (19)

Benarkah aku menyukai Adrian? Adrian yang selama ini aku segani. Ataukah ini hanya perasaanku semata karena Adrian memperlakukanku lebih dekat dari saat masih di Indonesia?

Satu jam aku bercerita dengan Satria mengenai itu. Satria hanya tersenyum penuh arti tanpa memberitahu lebih jelas mengenai hal itu. Dia bahkan tidak mengejekku seperti saat aku jatuh cinta pada Rais, mantan kekasihku saat aku kuliah S1 dulu. Aku meminta Satria untuk diam dan tidak mengatakan apapun tentang ini. Aku merasa aneh dengan perasaanku sendiri. Adrian? Aku menghela nafas panjang. Satu detik berikutnya, terdengar bel berbunyi.

Kubuka pintu kamarku, dan kulihat Adrian berdiri di depan, dengan senyum tipis dan menyodorkan satu kotak besar berisi strawberry.

"Dari mana?", tanyaku heran mengapa pagi-pagi dia sudah keluar.

"Pulang arubaito panen strawberry. Nih buat kamu.", katanya sambil masuk ke kamarku.
(arubaito = kerja sambilan)

Aku membuatkannya coklat panas. Adrian bercerita tentang kegiatan memanen strawberry yang dilakukannya. Bagaimana cara memanen strawberry yang baik agar tidak rusak penampilannya. Bagaimana cara merawat strawberry dan bagaimana cara agar warna buah menjadi merah sempurna dan tidak ada warna putih. Dan dia juga bercerita mengenai strawberry putih yang sedang menjadi tren saat ini.

Entah mengapa aku selalu menyukai cara Adrian menjelaskan sesuatu. Sistematis, dan mudah dimengerti. Mungkin inilah sebabnya Adrian bisa sukses kuliah di Belanda, Jerman dan sekarang Jepang. Namun dimataku, Adrian yang sekarang di depanku ini sama sekali tidak nampak seperti seorang CEO sebuah perusahaan. Persona Adrian sejak dulu memang misterius, dingin, kaku, dan nampak perfectionist. Namun entah mengapa, semenjak disini, aku merasakan sisi lain dari Adrian yang lembut, hangat dan bersahaja.

Gawat, aku memandangi Adrian bercerita hingga jantungku terasa panas dan berdebar kencang.

"Em, jalan yuk!"

"Eh?"

"Iya, jalan yuk ke Tsurumai Park.Tempatnya bagus, tempatnya bagus untuk foto.", katanya ringan.

Aku merasa seperti mendapatkan ajakan kencan. Tapi segera aku singkirkan pikiranku. Aku tidak mau hanya menanggung perasaan itu sendiri lagi. Namun aku pun tak mampu untuk menolak ajakannya dengan mengiyakan. Segera dia pulang untuk mandi dan bersiap-siap. Sedangkan aku, mulai bingung memakai pakaian seperti apa.

Satu jam kemudian kami menaiki bus dari dekat apartement kami menuju ke stasiun kereta terdekat menuju ke arah stasiun Nagoya di kota yang lebih besar dari kota kami. Ini adalah kali pertamanya aku bepergian ke luar kota. Bersama Adrian, entah mengapa jantungku berdebar. Kami berdiri sepanjang 20 menit perjalanan dengan kereta.  Aku hanya bisa mencuri pandang kearahnya diam-diam. Kami berbincang mengenai kota Nagoya. Tentang Nagoya Port Aquarium, tentang Nagoya Castle, dan tentang Osukannon, tiga tempat yang menjadi persinggahan Adrian saat mengunjungi Nagoya. Namun Tsurumai Park dan Sakae, menjadi tempat favoritnya untuk sekedar berjalan kaki menghilangkan penat.

Salah satu spot di Tsurumai Park.
Air mancur di tengah
monumen ini menjadi
latar belakang adegan
Adrian mengambil
foto Emi


Kami berganti kereta menuju ke Chuo Line yang melaju ke arah Tsurumai Park. Aku melihat beberapa pohon sakura sedang mekar. Benar kata Adrian, pohon sakura disini sangat indah. Sembari menikmati sakura, pandanganku tertuju kepada sebuah taman mawar. Bunga mawar sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda mekar, namun aku membayangkan betapa indahnya jika mawar-maar disini mekar.

"Bulan Mei, biasanya bunga mawar disini akan mekar. Tidak sebanyak di Hana Vesta di Gifu, tapi disini cukup indah. Ada lebih dari 20 spesies mawar yang ditanam disini. Tapi aku akan mengajakmu ke Hana Vesta nanti. Kamu suka mawar kan, Emi?", kata Adrian mengejutkanku. Darimana dia tahu bahwa aku suka mawar?

"Hah? Koq tau? Satria yang bilang ya?", tuduhku. Adrian hanya tersenyum simpul sambil mengalihkan pandangannya kearah bangunan seperti sebuah monumen yang ada di belakang taman mawar.

Tiba-tiba saja Adrian menggandeng tanganku. Jantungku berdekat kencang. Dibawanya aku kembali ke bangunan monumen ini. Sebuah air mancur berada ditengahnya. Adrian berdiri tepat di depanku dengan jarak yang sangat dekat. Tuhan, jantungku semakin berdetak kencang. Seseorang tolong katakan bahwa ini adalah perasaanku saja. Aku tak berani menatap matanya. Aku hanya mampu menatap bibir Adrian. Kulihat bibirnya bergerak seperti hendak mengatakan sesuatu. Namun urung. Sama seperti ketika di taman dekat rumah saat itu. Adrian lalu menghela nafas sebentar, lalu berkata,

"Em, coba mundur ke belakang, aku foto dari sini, bagus angle nya".

"Oh, okay", jawabku tersadar dari lamunanku sendiri. Sembari mengatur nafasku yang sempat kutahan tadi, aku mencoba berpose senetral mungkin agar tidak terlihat salah tingkah.

Tiba-tiba, handphone Adrian berbunyi, Adrian meminta ijin untuk mengangkat telepon. Aku sedikir mencuri dengar ketika dia menyebut nama Rania. Dadaku tiba-tiba terasa sesak dan panas. Ada rasa gelisah yang menyelimutiku. Ada rasa penasaran besar yang menyerang. Tidak, itu bukan penasaran. Sepertinya aku sedang terbakar cemburu.

Musim gugur itu
tidak hanya tentang
gugurnya daun maple
dan ginko, tapi juga
tentang mekarnya
bunga osmanthus
atau kinmokusei.
Bunga ini harum sekali.
Harumnya manis,
seolah ingin sekali memakannya.
Bunga ini menjadi
bunga kesukaan saya
 ketika musim gugur.
Saya selalu menghirup
aromanya kuat-kuat. Wangi sekali


EmoticonEmoticon