Monday, September 17, 2018

I Fall in the Autumn (18)

Aku ingin bercerita tentang Adrian. Tentang perbedaan yang kurasakan selama aku disini. Bukan Adrian yang sama yang aku kenal ketika SMA dulu. Yang seolah membuat jarak dengan orang lain. Adrian yang sekarang hampir selalu membuat aku merasa jatuh dalam pesonanya. Hampir. Ya, jika bukan karena testimoni teman-teman disini yang memandang Adrian sebagai laki-laki yang ketus dan dingin, meski pak Rafi dan beberapa bapak ibu menilai Adrian itu sangat baik. Aku tidak mau terlalu percaya diri dengan perlakuan Adrian padaku, bisa saja hanya karena aku adalah teman lamanya. Namun, jauh di lubuk hatiku, aku tak bisa menolak bahwa aku merasakan getaran ketika bersamanya.



Seperti saat hujan pertama di musim semi ini. Aku yang masih belum terlalu mengandalkan ramalan cuaca pada aplikasi smartphone, lupa untuk membawa payung. Malam itu, ketika aku pulang dari ruang eksperimen dan berpamitan dengan Pak Rafi, hampir saja aku menerobos dinginnya hujan di awal musim semi. Hingga Adrian memayungiku dari belakang. Dan kita berjalan berdua. Bercerita mengenai kegiatan sehari-hari. Ada keramahan yang tidak pernah muncul sebelumnya dari Adrian. Ada tawa renyah yang hanya satu kali aku rasakan, yaitu ketika dia meminta untuk foto bersamaku tepat di hari terakhir kita bertemu.



Atau ketika aku mengurus aplikasi untuk mengikuti kelas bahasa Jepang. Dia mengantarku ke International Student Center atau yang biasa kita sebut sebagai Ryuugakusei Senta. Dia tiba-tiba saja menarik tubuhku di pelukannya. Sedetik kemudian baru kusadari ada anak jepang yang menaiki sepedanya dengan kecepatan terlalu tinggi dan hampir menabrakku. Aku hanya mengucapkan terima kasih dengan perasaan malu sekaligus kikuk.



Atau ketika setiap malam dia menawariku untuk makan bersama di rumahnya. Dan menjadikan kegiatan memasak bersama adalah salah satu kegiatanku bersamanya setiap malam. Meskipun pada awalnya aku merasa sungkan, namun setelah satu minggu, seolah-olah adalah hal yang biasa. Tentu saja, dimana ada kami, Satria akan selalu hadir menemani makan malam kami melalui video call. Dan dia akan selalu marah karena sudah menghabiskan lebih dari 2 jam waktunya hanya untuk bercerita lepas. Namun kita akan melakukannya lagi besoknya, dan hari-hari seterusnya.

Adrian rupanya penyuka kejutan. Lebih tepatnya, dia yang memberi kejutan. Satu hari setelah aku bercerita mengenai kesulitanku dalam eksperimenku, tiba-tiba paginya dia datang ke laboratoriumku sekedar memberikan minuman coklat yang menjadi favoritku disini seraya menyemangatiku. Melempar senyum kepada Pak Rafi, lalu pergi.  Atau ketika dia menyeretku tiba-tiba di hari minggu. Aku yang masih dengan piyamaku hanya berbalut mantel musim dingin panjang diajaknya ke taman dekat apartemen kami pagi-pagi.

"Lihat Em, Sakuranya mekar. Cantik kan?", katanya sembari aku berkata dalam hati, "Nggak penting banget si".

Kemudian dia membidikkan kameranya. Memotret beberapa bagian dari pohon sakura itu. Aku berdiri sambil melipat tanganku di bawah salah satu pohon sakura yang sudah mekar sekitar 50%. Bunga sakuranya lebih kecil dan warna pink nya lebih tebal daripada bunga sakura yang ditunjukkan Adrian sebelumnya. Tiba-tiba kurasakan Adrian memotret ke arahku. Aku menengok kebelakang, terlambat menyadari bahwa Adrian mengambil fotoku. Ku lepas tanganku seraya berteriak padanya untuk menghentikan aksinya. Tanpa kusadari, kami tertawa lepas sambil berusaha merebut kamera dari tangan Adrian.



Lantas, tiba-tiba dia memegang tangan kiriku. Kami berdiri tepat di bawah kanopi pohon-pohon sakura yang sedang berkompetisi untuk menampilkan setiap keindahannya. Satu helai kelopak sakura jatuh ke sela-sela rambutku. Jantungku seakan berhenti saat Adrian menatapku lekat-lekat. Lidahku kaku untuk berkata, aku hanya menatapnya dengan tubuh bergetar. Kulihat mulut Adrian hendak mengatakan sesuatu, namun enggan. Satu tarikan nafasnya kemudian sebelum akhirnya dia menolehkan matanya ke arah belakangku sembari berkata,

"Bentar ya," sembari melepas tanganku dan berjalan lurus ke depan lalu kembali lagi. Dia menyematkan satu helai Sakura kecil di dekat telinga kiriku. Satu detik dia menatapku sambil tersenyum, lalu mengarahkan kameranya tepat di depanku.

"Cantik", katanya sambil tersenyum.

"Yuk pulang", seraya menarik tanganku ke arah apartemen.



Aku hanya terdiam melihat tingkahnya. Di dalam kamar, aku hanya memandangi sakura yang dia sematkan. Bunganya sudah mulai layu, tapi aku masih bergetar mengingat kejadian tadi. Aku menyadari ada getaran yang sama seperti ketika aku memandang Naoki dulu. Hanya saja kali ini, aku merasakan getaran itu bukan datang dariku sendiri.



Semakin lama, kami menjadi sering jalan bersama. Dan teman-teman disini menjadi sering menanyakan hubungan kami. Namun aku hanya menjawab bahwa kami sudah kenal semenjak SMP, jadi wajarlah jika Adrian terkesan lebih ramah dan terbuka padaku. Mereka menjawab dengan gaya khas jepang, eeeee......



Aku hanya berani bercerita diam-diam dengan Kak Cinta. Karena diantara teman-teman wanita disini, aku merasa lebih nyaman untuk bercerita dengannya. Kak Cinta juga menjadi salah satu dari sedikit orang yang bisa dibilang cukup dekat dengan Adrian. Kak Cinta selalu berbinar-binar jika aku sudah bercerita tentang hal yang kualami dengan Adrian. Dia selalu nampak excited mendengarnya, mungkin justru dia yang paling bersemangat tentang kejadian-kejadian itu dibanding aku sendiri. Tak jarang dia sengaja meninggalkan kami jika kami bertemu Adrian secara kebetulan di kantin, sambil mengedipkan mata manja pada Adrian sembari menepuk pundaknya dan berkata "tanoshinde ne!", yang kemudian kutahu artinya sebagai "selamat bersenang-senang".



Mungkin saja aku jatuh cinta pada Adrian. Aku hampir saja menyombongkan keberadaanku sebagai satu-satunya orang yang dekat dan tahu Adrian. Hingga dia datang. Rania. Aku bertemu dengannya pukul 9 pagi. Ketika aku akan berangkat ke kampus. Seketika aku mengunci rumahku, seketika itu juga pintu rumah Adrian terbuka. Dan dia keluar disana sambil memakai mantelnya. Kulihat ekspresi Adrian sedikit terkejut melihatku, namun dia selalu berhasil menguasai ekapresinya. Dia mengenalkanku padanya.

"Em, ini Rania. Rania, ini Emi."

Rania mengulurkan tangannya, aku menyambutnya dan kami berjabat tangan sambil mengenalkan nama masing-masing. Adrian memintaku untuk pergi duluan karena dia akan mengantar Rania ke apartemennya dulu. Rania tersenyum padaku. Aku kemudian pergi meninggalkan mereka dengan tanda tanya. Sekilas aku melihat rania sebagai gadis yang lemah lembut. Tatapan matanya sayu, namun tidak bisa memudarkan kecantikan. Dia bahkan lebih cantik dari Kak Cinta yang menurutku paling cantik diantara pelajar Indonesia yang ada disini. Tapi, kenapa sepagi itu di rumah Adrian? Selama aku disini, tak pernah sekalipun aku menemukan orang lain masuk ke rumah Adrian selain aku. Pak Rafi sekalipun tidak. Apalagi Kak Cinta. Adrian pun tak pernah tersebut nama Rania selama berbicara denganku. Pikiranku dipenuhi oleh tanda tanya. Rupanya aku masih tidak begitu mengenal Adrian.



"Em, kamu cemburu.", komentar Kak Cinta sembari mengupas jeruk saat aku bercerita tentang kejadian itu di rumahnya malam itu juga.

"Rania anaknya baik koq. Dia cuma emm....apa ya? Misanthropist.", sambungnya.

"Misanthropist? Apa itu kak?", tanyaku yang tidak mengerti istilah baru di telingaku.

"Misanthropist itu semacam anti sosial gitu. Dia jarang kumpul di acara-acara itu. Kadang memang jadi bullian anak-anak, tapi aslinya baik koq. Dia udah punya pacar di Indonesia. Udah tunangan kalo ga salah."

"Beneran, Kak?", tanyaku spontan. Kak Cinta berhenti dari aktivitasnya membersihkan jeruk kupasannya. Kemudian menatapku lekat dengan senyum simpul sembari berjalan kearahku.

"Kamu lagi jatuh cinta", katanya mantab sembari mencolek pipiku dengan telunjuknya, lalu berjalan kearah meja makan lagi.

"Makanya kamu cemburu,", sambungnya sambil tertawa kecil.



Aku hanya terdiam. Benarkah aku cemburu? Apakah aku jatuh cinta pada Adrian?


Musim gugur bukan hanya tentang daun yang berguguran.
Namun juga tentang mekarnya bunga Camelia yang cantik


EmoticonEmoticon