Sunday, May 24, 2015

If You're not The One

Ada cerita tentang perempuan yang sedang tertidur di pundakku saat ini. Perempuan tangguh yang berani mendedikasikan seluruh hidupnya untuk segala sesuatu yang dicintainya. Karirnya, cintanya, dan rumah tangganya.

Aku membencinya dulu. Karena suatu peristiwa menyakitkan yang dia lakukan padaku hingga membekas hampir 14 tahun lamanya. Jangankan bertemu dengannya, mendengar namanya saja sudah membuat telingaku panas. Melihat potretnya membuatku ingin merobek2 hingga tak lagi terlihat bentuk wajahnya. Aku benar2 membencinya. Tak ingin lagi aku melihat mukanya, atau sekedar punggungnya. Tak jarang aku menginginkan dia enyah dari bumi ini. Kami berdua tak saling mau menyadari bahwa saat itu hanyalah sebuah keegoisan masa remaja saat itu.

Sebelumnya, aku menyukainya. Memang menyukainya. Senyumnya, tingkah manjanya namun juga mandirinya. Aku menyukainya seperti sebuah matahari bersinar cerah tanpa tergantikan oleh gelapnya malam. Aku menyukai segala apa yang dia punya. Tinggah dewasanya, kekanak2annya, kekonyolannya, dan apapun yang ada pada dirinya. Hingga suatu saat dia menolakku dengan cara yang menyakitkan bagiku. Meski hati kecil kami, saling mengakui bahwa kami saling tertarik, saling menyukai. Namun, aku terlanjur membencinya. Dan aku tahu, penyesalan dirinya setelah itu mebuatnya masih berusaha menghubungiku hingga hampir 5 tahun lamanya.

Setelah 5 tahun aku menutup diriku, memblokir semua tentang dia. Aku bangga dengan pencapaianku, mendapatkan wanita yang lebih cantik dan lebih segalanya darinya. Beberapa kali kudengar dia berpacaran dengan temanku, aku tak peduli dengannya. Sudah tak ingin lagi tahu tentang dia. Ketika maraknya sosial media pun, aku tak mau ada muncul akun2nya di beranda sosial mediaku. Aku benar2 membencinya dengan sepenuh hidupku. Bagiku, dia adalah black hole yang gelap dan suram.

10 tahun berlalu. Ketika satu per satu teman2 sepermainanku bergantian mengadakan resepsi pernikahan, aku pun ingin segera menyusul mereka. Kukatakan pada gadisku yang sudah 8 tahun ini bersamaku , bahwa aku berniat untuk meminangnya, menjadikannya pelabuhan terakhir hatiku. Namun rupanya, manusia hanya bisa berupaya, jodoh mutlak di tangan Tuhan. Hubungan kami yang indah sejak lama, terpaksa harus kandas menjelang hari2 yang kurencanakan. Hatinya terpaksa berlabuh pada orang lain yang lebih disetujui orang tuanya. Alasannya sederhana, pekerjaanku yang hanya sebagai pengajar di sekolah dasar, dinilai tidak cukup mampu untuk membahagiakannya, menurut orang tuanya.

Dalam kekalutanku yang dalam, aku seakan merasa kosong. Berbulan2 aku seperti seorang robot, beraktivitas tanpa hati. setiap kali kupandangi foto2 kami, aku merasa bahagia, hingga aku tersadar bahwa dia kini sudah berada di sebuah rumah yang baru. Hanya sisipan doa yang bisa kuucap, Tuhan, pertemukan aku dengan jodoh terbaik untukku.

Dua tahun berlalu sejak peristiwa itu. Aku mulai bangkit, perlahan untuk membuka hati. Sadar umurku sudah mendekati kepala 3. Dan orang tuaku terus mendesakku agar segera menikah.Namun bagiku, menikah sudah bukan prioritas utama lagi. Aku menikmati pekerjaanku sebagai pengajar. menikmati tingkah anak2 didikku di sosial media. Dan kehidupan inilah yang menguatkanku selama ini. Sampai di suatu senja, aku kembali bertemu dia yang sangat kubenci.

Di dalam kereta saat aku akan pulang ke rumah orang tuaku di kota sebelah. Dia duduk di bangku tengah, tertidur pulas. Didepan kakinya terletak beberapa tas belanjaan besar. rupanya dia baru saja kembali dari kota tempat dia berkuliah dulu. Terlihat dari sebuah tas bertuliskan nama kota itu. Kudengar kabar dari banyak teman, karirnya sangat bagus. Dia menjadi pengajar di sebuah universitas tekenal di ibu kota selepas pulang dari menyelesaikan pendidikan doktornya di luar negeri. Kupandangi dia sejenak. Tampak di mataku, dia tak ada bedanya dari 12 tahun yang lalu, wajahnya seakan tak menua di mataku.  Entah mengapa naluriku membawa kaki ini melangkah dan berdiri tepat di depannya. Sadar akan naluri konyolku ini, ada rasa panik menyergapku. Bagaimana bila dia bangun dan menemukanku berdiri di depannya? Bagaimana bila dia benar2 membenciku juga? Bagaimana aku harus menjawab jika dia bertanya, atau menyapaku? Apakah aku harus terus mendiamkannya?

Tuhan, aku sangat takut bila dia membuka matanya. namun posisiku terjepit diantara banyak penumpang tak memungkinkanku untuk kembali pindah ke tempat lain. Dan pada satu stasiun yang harus berhenti, aku berencana untuk pindah, atau turun dan naik kereta selanjutnya. Namun rupanya Tuhan tak mengijinkannya. Saat kereta berhenti, terjadi guncangan, dan entah secara bagaimana, tiba2 tas kerjaku terjatuh dipangkuannya. Dia terbangun. Ya, dia terbangun. Matanya terbuka perlahan, kemudian sejenak membersihkan matanya. Dan meraih tasku. Ketika dia mendongak keatas, mata kami berpandangan, dan jantungku berdebar keras.

" Tasmu? " Katanya dengan sedikit tersenyum.

Aku hanya mengangguk dan mengambil tasku, datar, egoku kembali muncul. Atau ini adalah ketakutanku? atau grogiku?

Dia tak lagi berkata apa2. Dia merapikan tas2nya di dekat kakinya, seolah memberiku ruang untuk berdiri dengan lebih nyaman lagi. Sesaat kemudian membuka tas punggungnya dan megngeluarkan air mineral dan diteguknya perlahan. Aku mengalihkan pandangan kesamping, namun masih kulihat dia dari ujung mataku. Nampak padaku, dia merapikan rambutnya , dan sesekali mengecek pesan di telepon genggamnya. Entah mengapa, aku merasa ingin tahu, apakah dia sudah menikah? Dengan kekasihnya yang kudengar seorang manager di perusahaan luar negeri itu? Ah apalah aku ini, mendadak aku merasa sangat kecil di hadapannya. Hampir setengah jam kami, saling berdekatan, tanpa sepatah kata pun. Aku hanya mengutuk ego dan kebencianku, sesaat setelah kami mendarat. Dia menyapaku dengan senyum khasnya yang dahulu biasa aku rindukan.

" Duluan ya. " katanya sambil berjalan menuju ke pintu gerbang stasiun. Kulihat dari kejauhan, ayahnya datang menjemput. Tanpa aku sadari, aku memperhatikannya hingga dia menghilang dari pandangan mataku di tikungan.

--**--

Satu bulan berlalu setelah peristiwa itu, aku tak bisa berhenti untuk memikirkannya. aku akui, aku terlalu bodoh, dan terlalu malu untuk mengakui tentang egoku. Aku hanya bisa memohon pada Tuhan agar aku kembali dipertemukan dengannya. Aku hanya ingin berbincang dengannya, membahas kekonyolanku selama 12 tahun ini, dan mengungkapkan apa yang kurasakan meskipun itu terlambat. Namun Tuhan mengujiku dengan memberi siksaan atas kearoganku selama ini. Aku semakin memikirkannya, semakin ingin bertemu dengannya, dan aku sering mencari2 kabar terbaru dari dia. Akhirnya aku tahu, bahwa dia masih single, setelah berpisah dari kekasihnya. Namun, semakin mengetahui tentang seperti apa dia sekarang, semakin aku merasa ciut. Prestasiku hanyalah sebagai kepala sekolah dasar, dan baru saja bulan lalu diresmikan. Sedangkan dia, hampir sebulan sekali melakukan kunjungan di universitas2 luar negeri. Tak jarang, wajahnya muncul di televisi saluran edukasi, menjadi narasumber atau juri sebuah perlombaan ilmiah.

Aku hanya mampu mengutuk diriku sendiri. Mengapa aku membencinya. Dan aku benar2 tersiksa dengan rasa ini. Tuhan mengakhiri penderitaan batin ini pada sebuah reuni akbar sekolah kami setahun kemudian. Dia datang dengan segala pesonanya, menjadi daya tarik sendiri malam itu. Naluriku memaksaku untuk mencuri kesempatan ketika dia sedang sendiri. Kudekati dia dan kusapa dia. Ini adalah kali pertamaku menyapanya setelah 13 tahun aku tak pernah menyapanya. Aku merasa seperti orang asing, yang baru pertama kali mengenalnya.

"Hai, apa kabar kamu?" katanya membalas sapaanku. Masih dengan senyum yang dulu pernah menawanku.

Kami berbincang sedikit, rasanya seperti orang yang baru pertama kali berkenalan. Canggung, dan sangat formal. Kami berpisah ketika teman2 mulai menggoda kami dengan sebutan CLBK. Dia hanya tertawa renyah dan kemudian meninggalkan kami untuk bergabung dengan teman2nya. Aku bertekad untuk bisa setidaknya meminta maaf untuk 13 tahun ini. Dan tuhan begitu baiknya memberikan waktunya padaku saat acara berakhir.

"Nggak dijemput?" Sapaku setelah kuberhentikan motorku di depannya.

"Kayaknya bapak sudah tidur." Jawabnya disertai senyuman.

"Mau aku antar?"

"Makasih, tapi aku naik taksi aja" jawabnya singkat sambil membuka telepon genggamnya.

"Kira, ada yang ingin aku bicarakan sama kamu, boleh kita berbincang berdua saja? Aku tahu kamu besok sudah kembali ke Jakarta, mungkin aku tak punya banyak kesempatan mendapatkan waktumu untuk sesuatu hal yang mungkin saja tidak penting bagimu."

Dia terdiam sejenak. Mematikan layar telepon genggamnya, dan menatapku,

"Baiklah, ayo kita ke angkringan, aku lapar" Katanya dengan gayanya yang masih seperti dulu.

Aku melajukan motorku cepat, dengan jantung serasa ingin meloncat keluar. semacam nostalgia saat membawanya dengan motorku. seperti saat pertama kali kami bercanda diatas sepeda, berdua menyusuri kota. Kami tiba di angkringan, dan aku serasa menahan nafas untuk 2 jam kedepan, mengutarakan apa yang selama ini aku rasakan, bagaimana tersiksanya aku dengan kebencian yang kutanam sendiri. Betapa sakit hatiku sesungguhnya, saat mengingat bagaimana dia meminta maaf, namun aku mengacuhkannya. Sedangkan saat ini, aku meruntuhkan egoku untuk meminta maaf padanya, dan dia ada di depanku, mendengarkan tiap kata yang keluar dari mulutku selayaknya aku adalah seorang mahasiswanya yang sedang berkonsultasi.

Aku tak mengharapkannya untuk menerima cinta yang tak layak dariku. Aku hanya ingin, dia memaafkanku. Atau, kita bisa mulai berteman baik, seperti dulu. Karena aku sadar, cintaku ini adalah sangat terlambat.

"Sudah selesai?" katanya singkat sambil mengunyah sate ayam kesukaanya. Kata2 singkat yang membuatku salah tingkah. Diambilnya gelas minumannya dan diteguknya ringan. Aku hanya bisa menunduk, tak berani memandangnya.

"Aku sudah memaafkanmu sejak dulu." Kata2 ini membuatku terkejut, "Aku justru ingin meminta maaf atas penolakanku dulu. Bukan seperti yang kamu kira. Aku saat itu hanya malu untuk mengenal cinta. Aku rasa aku masih terlalu kecil untuk iu. Namun aku tahu, bahwa aku suka, aku suka kamu juga. tapi aku salah cara. Kamu mau maafin aku?"

Tuhan, ingin rasanya aku memeluknya. Ingin rasanya aku meneteskan air mata, tapi aku tak sangup. Aku hanya menarik nafas kelegaan yang luar biasa.

"Aku memaafkanmu, Kira. Maaf, maafkan aku atas semua ini."

Dia tertawa keras dan menggodaku. Sudah lama sekali aku merindukan caranya menggodaku. Aku merasa seperti kembali pada masa belasan tahun lalu. Saat kami dipertemukan pertama kali, saat kami belum ada rasa benci. Dan malam itu berakhir dengan saling bertukar kontak. aku mengantarnya sampai ke ayahnya, ku sampaikan pada ayahnya permintaan maafku karena mengantarnya sudah larut malam. Dan aku pulang dengan perasaan bahagia yang tak pernah kurasakan sebelumnya.

--**--

6 bulan kemudian, aku dikejutkan dengan teleponnya yang mengatakan bahwa mulai bulan depan, dia akan pindah mengajar di kotaku. Aku memrotes keras tindakannya yang mengorbankan karir cemerlangnya dan gaji yang hampir 5 kali lipat gajiku, serta nama besar hasil dari semua prestasi yang dia raih selama ini.

"Aku ingin dekat dengan orang tuaku. Lagipula, ada hati yang harus kujaga, karena sudah lama hati itu tidak terjaga dari jangkauanku"

Begitu jawabannya saat kutanyakan alasan kepindahannya. Mendengarnya, membuatku berfikir keras. Kata2nya menjadi semacam teka teki untukku. Mungkinkah dia menemukan tambatan hatinya, mungkinkah dia akan mengakhiri masa lajangnya? Semakin hari, aku semakin gelisah. Namun, aku tak ada nyali untuk mengatakannya, atau mengungkapkan rasa di hati ini. Tuhan...aku harus berbuat apa? Aku hanya bisa tertegun, dan mencoba mengerti keputusannya.

Saat aku membantunya mengurus kepindahannya. Di sebuah rumah kontrakan yang tak jauh dari kompleks perumahan tempatku tinggal. Di sela2 membantunya mengangkat barang2, aku memberanikan diri bertanya tentang kehidupan asmaranya.

"Sudah ada pasangan ni?"

Lagi2 dia hanya tertawa kecil, "Kamu sudah ada pasangan?"

"Aku belum sih"

"Ya sudah, kalau begitu aku juga belum" kami kemudian terdiam setelah sesaat saling berpandangan dan tersenyum.

Beberapa hari kemudian, aku nekat untuk melamarnya. Mungkin orang akan berfikiran bahwa aku tak tahu malu. Namun, aku tak ingin menyiakan kesempatan yang bagiku adalah mukjizat Tuhan. Dan apa jawabannya?

"Coba kamu tanya bapak, siapa tahu ditolak hahaha"

Namun aku tahu, candaan dia seperti apa. Dan seminggu kemudian, aku, dengan tanpa malu, atau mungkin malu2in, datang ke rumahnya, meminta ayahnya agar mengijinkanku menjadi pendampingnya. Ayahnya tak segera menjawab. Dipanggilnya Kira, dan ditanyakan padanya bagaimana tentang ini.

"Kalau ayah setuju, Kira mau sujud syukur" Dan benarlah, tak lama kemudian, Kira melakukannya. Aku pun demikian. Tuhan...jalan yang kau berikan indah sekali. Kami melangsungkan pernikahan satu bulan kemudian. Kira, dengan cantik dan anggunnya berdiri di sebelahku, menggenggam erat lenganku dengan buket bunga mawar ungu kesukaannya.

Lima tahun berlalu. Tak hentinya aku mengucap syukur pada Tuhan. Tak hentinya aku mengagumi sosok wanita ini. Tahun kedua pernikahan kami, Kira melahirkan bayi kembar kami. Dan aku benar2 semakin mengaguminya. Dia adalah sosok istri, ibu, dan wanita karir yang tangguh. Dia merelakan waktu tidurnya lebih sedikit dariku, untuk bangun pagi2 menyiapkan sarapan dan membangunkan kami. Kira mengantar anak2 ke PAUD, dan aku nanti yang menjemputnya. Dia mendedikasikan seluruh gajinya, yang lebih besar dari gajiku, untuk anak2 kami. Dia dengan sederhananya, pandai sekali mengelola uangkku yang tak begitu besar ini. Dia, yang masih punya waktu untuk mendidik anak2 kami, menidurkan mereka sebelum dia berkutat dengan pekerjaannya menjelang tidur. Terima kasih Tuhan, kau lengkapi hidupku dengan malaikat ini.

--**--

Aku memandanginya dalam. Ekspresi tidur yang tidak pernah berubah sejak pertama kali aku mendapatinya tertidur di bawah pohon rindang di pojokan sekolah. Kubangunkan dia perlahan,

"sayang, keretanya sudah sampai. Anak2 sudah ga sabar ketemu kakek neneknya."

Dia membuka mata, membersihkan matanya, meneguk air mineral dan merapikan rambutnya. Seperti biasanya. Dan aku merangkul pundaknya sambil bercerita tentang kejahilan anak2 kami selama dia tertidur.


EmoticonEmoticon