Saturday, January 5, 2019

Menutup 2018 dengan Drama maskapai All Nippon Airways

Akhir bulan Desember lalu, saya berkesempatan untuk kembali pulang. Setelah melalui drama kartu kredit ditolak berkali-kali, akhirnya kami memutuskan untuk membeli tiket pesawat sekali jalan.

Ketika berangkat, meskipun memesan pada situs Garuda Indonesia, namun rupanya kami mendapatkan jasa layanan Sky Team karena pesawat Garuda tidak beroperasi pad ahari Sabtu. Lantas kami mendapatkan pelayanan dari All Nippon Airways (ANA).

Saya pikir ANA adalah maskapai yang menyenangkan, setelah membaca banyak review dari pelanggan. Tapi rupanya tidak begitu.

Harga yang didapat adalah 76.040 yen, setara dengan sekitar 9 juta rupiah untuk sekali jalan dari Haneda ke Yogyakarta. Sedangkan dua bulan sebelumnya, saya mendapatkan harga 50.240 yen untuk perjalanan pulang pergi Haneda - Yogyakarta dan Yogyakarta - Haneda dari Garuda Indonesia.

ANA mahal, pikir saya. Namun, saya berharap pelayanan ANA sangat memuaskan seperti yang orang bilang. Ternyata, nasib saya tidak seberuntung orang lain.

Sebetulnya, pada saat pemesanan, kami tidak dapat memilih kursi seperti biasanya. Saya pikir, nanti bilang ke staff-nya saja. Karena pada penerbangan sebelumnya, saya ditempatkan disebelah Mas Fikri, meskipun kami tidak memesan tiket secara bersamaan.

Namun sangkaan saya salah. Dengan dalih kursi telah penuh, kami terpisah tempat duduk. Ditambah lagi, ternyata kami harus mengambil bagasi di Jakarta terlebih dahulu dan check in lagi untuk penerbangan selanjutnya.

Saya meradang seketika. Karena ketakutan untuk penerbangan domestik yang mempunyai limit bagasi hanya 20 kg per orang. Sedangkan bagasi saya satu koper 30 kg dan bagasi Hase 25 kg. Namun Hase menenangkan saya untuk tidak marah-marah dengan staff ANA.

Masih kesal, kami menuju ke pesawat. Malang bagi saya, saya mendapatkan tempat tepat di tengah dua pria. Sebelah kiri saya bule amerika oversize, dan sebelah kanan saya mas-mas mahasiswa Indonesia yang kuliah di Amerika. Badannya bisa dibilang tinggi, besar, namun berotot bagus. Saya kurang nyaman karena bule itu sudah menempati setengah kursi saya.

Tibalah kita take off. Si bule sudah tidur. Mas mahasiswa masih menonton Deadpool dengan tertawa. Saya kesulitan untuk duduk karena pantat saya bersenggolan dengan pantat bule. Bahkan kursi saya tidak bisa disandarkan kebelakang karena rupanya orang di belakang mempunyai kaki yang panjang.

Saya kemudian ke toilet, sambil melihat-lihat kursi. Rupanya masih ada cukup banyak kursi kosong. Bahkan yang dua kursi bersebelahan pun masih banyak. Saya kembali meradang, merasa dipermainkan oleh staff ANA.

Pramugari ANA juga rupanya tidak seramah pramugari maskapai lain yang pernah saya naiki. Tidak ada rasa simpati kepada saya yang benar-benar nampak kesulitan untuk sekedar duduk. Sampai akhirnya saya dengan nada sedikit judes, meminta untuk pindah kursi.

Beruntung, pramugari mengijinkan saya untuk pindah ke kursi yang kosong di seberang. Akhirnya urusan duduk dan tidur teratasi.

Satu pelajaran bagi saya, jika badan kita oversize, atau kaki kita panjang, lebih baik kita sadar diri dengan memilih kursi yang lebih besar atau ruang kaki yang lebih panjang. Bisa kan, memilih kursi di depan yang ruang kakinya lega. Atau kelas bisnis yang kursinya lebih besar dan nyaman.

Dengan begitu, kita tidak akan mengganggu kenyamanan penumpang lain, yang mungkin saja telah membayar lebih dari harga penumpang lain.

Namun drama saya belum berakhir. Saya dibangunkan oleh pramugari pada pukul setengah 3 pagi untuk sarapan. Lagi-lagi saya kurang beruntung. Makanannya ternyata tidak seenak sarapan di Garuda. Tapi masih bisa saya terima karena untuk satu jam, saya bisa memejamkan mata.

Pada saat landing, saya hampir kejang-kejang akibat pergerakannya sangat kasar. Hampir semua penumpang tergoyang. Bahkan, bagian atas pesawat ikut bergoyang ke kiri dan kanan, membuat saya tidak berhenti mengucap syahadat. Ini adalah pendaratan paling kasar yang pernah saya alami.

Setelah mengambil bagasi, kami melakukan cek in kembali. Was-was dengan jumlah bagasi. Koper saya hampir saja kena charge. Namun, saya yang sudah tidak enak hati sejak sebelumnya, dengan sedikit judes, kami menjelaskan kepada staff di Jakarta.

Beruntung mereka memberikan kami kelonggaran setelah debat panjang berakhir. Meski mbaknya terlihat benar setengah hati.

Akhirnya kami sampai juga di Yogya. Dan menutup 2018 dengan janji untuk tidak akan pernah lagi menggunakan maskapai ANA, kalau tidak benar-benar kepepet.


2 comments

Pantesan Garuda Indonesia beberapa kali menang award best cabin crew yak. Yang lain (saingan)nya kayak gitu. ��

mbak aiiiiii....
aku baru aja naik ANA juga dan ngga memuaskan.
Delay bangeeet.
Kzl


EmoticonEmoticon