Monday, March 7, 2016

English, Globalisasi dan Etika Berbahasa

Mohon maaf sebelumnya, apabila saya nulisnya masih sekenanya. Juga apabila konten saya masih tipis. Maklum, masih belajar jadi penulis hehe.

Beberapa hari yang lalu, saya membaca postingan kawan yang membagi postingan kawannya mengenai belajar bahasa Inggris. Beliau menghimbau agar generasi muda di Indonesia untuk jangan takut belajar Bahasa Inggris. Bukan berarti jika kita belajar bahasa Inggris itu kita tidak punya rasa nasionalisme terhadap NKRI. Terus terang, ini saya setuju. Tapi, ada tapinya. Sebelum saya katakan tapinya, yuk kita ngobrol2 dan ngopi2 tanpa sianida dulu.

Darimana muncul statement " Belajar bahasa inggris itu berarti tidak punya nasionalisme"?
Saya rasa orang yang membuat argumentasi ini adalah seorang yang susah belajar bahasa inggris. Iya donk, kalau dia gampang belajar bahasa Inggris, pasti dia nggak akan ngomong gini. Nah, terus, gimana donk yang belajar bahasa Arab dari kecil? Nah lho!

Saya itu diajari baca tulis Arabic dari umur 3 tahun, sedangkan saya belajar bahasa Inggris malah dari umur 10 tahun. Berarti sejak kecil, orang Islam itu nggak punya nasionalisme terhadap NKRI, lhawong anak2nya diajarin bahasa Arab sejak dini je. Hayo...ngaku deh. Nasionalisme kalian ke Arab ya?? Ih...saya mah ke Jepang aja, walaupun saya belajar bahasa Jepang sejak umur 22 tahun.

Saya kasih tahu ya, bahasa itu tidak mutlak mencerminkan rasa nasionalisme kita. Toh buktinya, banyak orang yang bisa bahasa Indonesia, tapi mereka lebih memilih membela Syria, lebih milih membela Amerika, lebih milih membela China, bahkan lebih milih membela Jepang macam saya. Eits, tapi saya dual nasionalisme koq, tenang aja. NKRI harga mati! Tapi karena saya lagi di Jepang ya, nasionalis dikit sama Jepang, duitnya dari sini e.

Bahasa Inggris, adalah bahasa internasional. Semua publikasi ilmiah, konferensi internasional, dan pertemuan2 tingkat internasional selalu menggunakan bahasa Inggris. Seperti bahasa Indonesia yang menyatukan semua suku bangsa dari pulau Weh sampai ke Merauke, Bahasa Inggris juga berfungsi sebagai bahasa pemersatu seluruh dunia. Ibarat,levelnya satu tingkat di atas Indonesia deh. Untung lho cuma bahasa Inggris yang jadi bahasa pemersatu seluruh bangsa di bumi. Coba bahasa China, nah lho, mati kau! Harus baca kotak kotak garis garis nggak ngerti apalah itu.

Banyak sekali informasi yang bisa digali, banyak sekali berita dan ilmu2 yang dibagikan dengan bahasa Ingrgis. Kita jadi mudah menyerap ilmu baru dan terselamatkan dari rezim pembodohan hoax yang sering disebarkan melalui situs2 berita ecek2. Bahasa Inggris itu penting untuk dipelajari. Untuk kebaikan kita semua, teman2.

Kamu punya mimpi belajar ke luar negeri? Syaratnya harus bisa bahasa Inggris loh, bukan bahasa Indonesia. Ya kecuali kamu mimpi belajarnya ke Malaysia atau Timor Timur. Itu pun nanti kamu juga masih akan menemui Bahasa Inggris koq.

Belajar bahasa Inggris memang banyak manfaatnya, dan kita bukan lagi disarankan, namun WAJIB untuk mempelajarinya. Apalagi menghadapi era globalisasi. Jangan mau ditipu sama bule2. Kalau bisa, kita yang nipu tuh. Di India aja, supir taxi bisa bahasa Inggris, dan sukses bisa nipu bule2 biar bayar tarif lebih mahal loh, masak kita nggak bisa? hahaha. Aduh maaf, bukan maksud mengajari yang tidak baik yaaa...

Tapi, beberapa kelakuan yang saya pribadi tidak suka dengan sikap dari oknum2 yang bisa berbahasa Inggris dengan lancar, seperti mbak Marshanda dibawah ini. Mohon maaf ya mbak, saya nggak mau membahas kontennya. Saya hanya mau membahas cara Mbak Chacha ini berbicara.


Baiklah, mbak Chacha memang pinter berbahasa Inggris. Boleh juga kalau mbak Chacha saya jadikan proofreader nih. Tapi, mbak Chacha, maaf ya, mbok ngomongnya Indonesia, ya Indonesia aja. Inggris ya Inggris aja. Jangan dicampur2 gitu. Saya jadi inget sindirannya Pandji Pragiwaksono tentang yang seperti ini. Bisa dilihat di video bawah ini.

Kalau kita lihat, Pak Habibie, yang kuliahnya di jerman, malang melintang di dunia Internasional, kalau sedang berbicara di sebuah forum, wawancara TV nasional di Indonesia, tidak pernah sekalipun beliau ngomong pakai campur2 bahasa INggris, bahasa Indonesia, apalagi bahasa Jepang.
Kalau kita mengikuti kuliahnya Pak Josaphat Tetuko Prof dari Chiba University yang udah jadi profesor di Jepang, ketika beliau memberikan kuliah di Indonesia, saya yakin beliau juga nggak akan mencampur dengan bahasa Jepang, padahal sehari2 beliau ngajar pakai bahasa jepang.

Saya pikir, ada etika ketika berkomunikasi terkait dengan bahasa. Kepada siapa kita berbicara, dalam konteks apa, pada situasi yang seperti apa, saya rasa semua akan sepakat jika akan lebih baik bila memakai bahasa tunggal. Ketika yang diajak bicara adalah orang Indonesia, ya usahakan bicaralah mengunakan bahasa Indonesia. Kecuali kalau kalian sedang berada di dalam perkuliahan berbahasa inggris, ataus edang dalam konferensi internasional. Tapi, kalau seperti mbak chacha ini, disiarkan di televisi, rasanya dari segi berbahasa tidak mengedukasi sekali. Maaf lho mbak Chacha, saya bukan nge-bully lho ya.

Tapi ya, sekali lagi, anak2 gaul Indonesia sudah terbiasa mencampuradukkan bahasa. Apalagi wong ndeso seperti saya. Kalo ngomong dicampur, ya bahasa jawa, ya bahasa indonesia. Makanya, pas di jepang, saya juga ngomongnya ikutan nyampur. Bukan ngomong bahasa indonesia sama bahasa inggris, lebih tinggi lagi levelnya, bahasa inggris, bahasa jepang dan bahasa tarzan saya gabung jadi satu. Keren kan?



1 comments so far

Baca postingan yg ini jd inget Bapak dirumah sering ngomong, ini artis orang Indonesia, tinggal di Indonesia, stasiun TV indonesia, yg nntn org Indonesia tapi ngomongnya bahasa inggris, hihihi


EmoticonEmoticon